Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Maafkanlah, Kau akan tenang

Minggu, 28 Februari 2010

Saudaraku seiman,

Perjuangan dalam islam memang sulit, waktu yang panjang, dan terjal. Walau bagaimanapun, jalan islam merupakan suatu tujuan. Oleh karena itu, ia membutuhkan pejuang-pejuang islam yang sabar dalam setiap kondisi yang menyakitkan baginya. Ia harus tetap menjalankan misi ini walau harus dikucilkan. Ditengah jalan, nanti akan dijumpai banyak celaan, cemoohan, yang terkadang membuat kita ciut untuk menjalaninya.

Terkadang kesabaran pun ada batasnya. Oleh karena itu, disini kita diperingatkan oleh hikmah atau pelajaran dari kisah Nabi SAW yang sedang berdakwah di Thaif. Saat Nabi berdakwah dengan cara layyinan atau lemah lembut, tapi penduduk Thaif membalasnya dengan lemparan batu-batu dan kotoran unta. Misalkan, jika kita yang dilempari penduduk itu, apa yang akan kita lakukan ? Mungkin, kita akan marah dan akan mengadu kepada Allah agar segera mengadzab mereka. Begitupun malaikat yang tidak terima dengan perlakuan seperti itu. Malaikat itu meminta kepada nabi agar di-adzab-lah penduduk itu.

Tapi pa yang diucapkan oleh seorang perintis dakwah islam ini ? Jangan !!! mereka hanya belum tahu. Dan rasul berdoa, kurang lebihnya seperti ini : “Ya Allah, jadikan dari tulang sulbi mereka nantinya yang akan menguatkan agama ini. Apakah oleh Allah langsung dijawab saat itu ? Tidak, tapi Allah menjawab saat wafatnya nabi. Ketika nabi wafat, orang-orang pinggiran madinah itu murtad, kecuali orang-orang Thaif. Hanya akidah mereka yang tak tergoyahkan Karena doa nabi Saw tadi.

Saudaraku,

Kisah tadi membuktikan bagaimana efek kesabaran dan memaafkan. Dakwah yang disebarkan tidak harus melalui kekerasan. Selama jalan hikmah masih bisa. Memaafkan orang itu sulit sekali. Apalagi terhadap orang yang kita benci. Untuk memaafkannya saja, kita membutuhkan beberapa waktu lamanya. Apa ini mencerminkan criteria seorang pejuang dakwah ? Memaafkan itu memang terkadang gengsi kita jatuh. Ketika ada orang kaya yang melakukan kesalahan pada orang miskin, misalnya. Orang kaya itu tidak akan meminta maaf terlebih dahulu. Karena gengsinya yang besar itu, sehingga ia menutupi hatinya untuk meminta maaf kepada seorang miskin tadi. Memaafkan itu jauh lebih nyaman. Jika kita salah, meminta maaflah terlebih dahulu. Jika kita benar, meminta maaflah terlebih dahulu juga. Kita merasa indah jika memafkan. Janganlah ada dendam dalam diri setiap pejuang islam. Memaafkan merupakan sifat yang harus dimiliki olehnya. Hilangkan kalimat yang bisa memecahbelah umat ini. Jangan sampai ada dalam diri kita itu terucap : “Tiada maaf bagimu”. Naudzubillah

Empat kata yang sulit untuk diucapkan, namun efeknya yang mengguncang dunia. “…..dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu ? (An-Nur : 22). Nabi bersabda : Sesungguhnya seorang hamba hanya bisa meraih derajat orang yang banyak melaksanakan puasa dan qiyamulail, dengan sifat pemaaf. Subhanallah !!! Bergembiralah kalian wahai pejuang islam, derajat kita hampir sama dengan orang yang berpuasa dan sedang qiyamulail, jika kita memaafkan.

Wahai saudaraku….

Ingatlah diri kita. Darimana kita berasal ? Dari apa kita terbuat ? Merasa hinakah dengan apa kita lahir ? Pahami dan renungkan. Mengapa kita sampai tega mengutuk orang-orang yang tidak mau bergabung dengan kafilah kita. Atau lebih parah lagi kita tidak mau memafkan mereka. Tidakkah kita tahu, semulia-mulianya diri kita masih ada Allah yang lebih mulia dari kita. Lantas, mengapa kita tidak sanggup mengucapkan kata maaf kepada orang yang telah bersalah kepada kita, sedangkan Allah dengan mudah memaafkan hamba-Nya. Bahkan lautan maaf Allah lebih luas dari lautan di dunia ini.

Ingatlah juga oleh diri kita pribadi. Agama ini akan runtuh jika kita bercerai-berai. Manusia disana memusuhi manusia lainnya. Tidak ada persatuan yang mem-background diri mereka. Memaafkan itu adalah cikal bakal dari persatuan dan kesolidan yang sulit duruntuhkan oleh umat manapun. Tanpa kata maaf, bukan hanya agama ini yang hancur, melainkan seluruh alam akan seperti yang diprediksikan oleh malaikat sewaktu Allah menciptakan adam, pertumpahan darah. Sebelum emosi memuncak, maafkan dan peluklah saudaramu. Katakan pada mereka : Maafkan aku sobat !

Saudaraku,

Agama ini butuh orang-orang yang lapang dada, sabar dan pemaaf. Jika islam berdiri, tiada pertumpahan darah. Islam akan memaafkan musuh-musuhnya, seperti saat Fathul Makkah.

Saudaraku seiman,

Maafkanlah, maka semuanya akan tenang.



Baca Selengkapnya...

CINTA DALAM ISLAM

Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu,

wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”

Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”

Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,

“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”

“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”

Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.

Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).

Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).

Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31

“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri).

Setelah menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).

Lebih parah lagi—dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh.

“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994, hlm.125).

Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).

Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya.

Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).

Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (al-Ma’idah:48)

“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.

Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).

Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Baca Selengkapnya...

Istiqomah

Hati kadang-kadang susah dideteksi. Sangat susah,walaupun dengan alat secanggih apapun. Maka dari itu, ada sebuah doa Yaa muqollibal quluub,,tsabbit qolbii ala diinik. Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkan hati saya agar senantiasa dalam agamamu. Ini adalah indikasi bahwa, hati kita itu cepat gamang terhadap sesuatu. Makanya, kita melihat dalam ayat-ayat atau bahkan hadist yang menyebutkan dengan istiqomah.

Istiqomah ini sebenarnya adalah layaknya adalah kemenangan hati atas sesuatu, dimana sesuatu tersebut sangat tidak meyakinkan, atau yang disebut dengan keraguan. Oleh karena itu,amalan yang disukai Allah adalah, yang kecil tapi istiqomah. Betul ? Beda kalau kita ragu atau gamang.

Syetan itu juga dengan mudah memberikan segala solusi kebaikan sebenarnya. Tapi, kebaikan yang menjerumuskan kepada kejahatan. Contoh kecil saja adalah menganggap dosa kecil. Mungkin banyak orang beranggapan bahwa istiqomah adalah selalu terus-menerus melakukan amalan tersebut. Ya, itu memang betul. Tapi, apakah sebelumnya ia dilanda dengan yang namanya keraguan, apakah ia melakukannya atau tidak ?

Inilah yang saya maksudkan dengan yang namanya ya muqollibal quluub, jadi sebelum kita berdoa agar senatiasa istiqomah, maka alangkah baiknya, doa seperti tadi. Setelah itu baru dilanjutkan dengan doa-doa terserah kita. Kita mau istiqomah untuk tetap memilih islam sebai jalan hidup kita, ataupun yang lainnya....

Mungkin ini sangat singkat, tapi mudah-mudahan selalu bermanfaat untuk teman-teman pembaca sekalian..

Baca Selengkapnya...

Jejak-Jejak Para Pembelajar

Pembelajar adalah orang-orang yang menceburkan diri mereka kedalam sungai yang agung. Mereka bukan hanya terbatas pada siswa, murid, mahasiswa ataupun dosen sekalipun. Para pembelajar adalah orang-orang yang ingin mengambil hikmah dari setiap kesalahan yang mereka lakukan pada masa lalu. Dan mereka tidak sama sekali menghapusnya dari ingatan dan mengutukinya begitu saja.
Mungkin kita memandang bahwa para pembelajar adalah orang yang agung yang agung. Itu memang benar, tapi kebenaran itu tidaklah absolute. Mereka juga manusia, pernah melakukan kesalahan yang besar sekalipun. Akan tetapi, kesalahan itu tertutupi oleh banyaknya kebaikan mereka. “Dan ikutilah keburukanmu dengan kebaikanmu.”

Akan tetapi, lihatlah hasil dari orang-orang para pembelajar. Mereka mampu menciptakan suatu hasil yang beda dari yang lain. Hasil inilah yang nantinya setiap orang mengikuti apa yang mereka lakukan ini. Dan hasil ini atau bisa kita sebut jejak-jejak para pembelajar. Maka benarlah jikalau ada yang mengatakan ‘ulama warosatul anbiya’ pembelajar itu adalah pewaris nabi.
Ilmu mereka tidak mengendap di otak. Mereka membuat jejak-jejak dengan menyebarkan ilmu untuk menerangi bangsa dan agama ini. Bukan hanya ilmu saja, jejak itu juga tauladan. Tata karma yang mereka buat membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan. Teladan yang mereka lakukan berdasarkan ilmu dan mereka takkan mengingkari janji Allah dalam surat ash-shaff 2-3.
Sungguh mulia para pembelajar. Mereka hidup dihargai dan ketika meninggal, Allah menghargai mereka dengan menaikkan derajat yang lebih tinggi dari mukmin lainnya. Dan jejak yang mereka buat akan senantiasa abadi dan takkan terhapus oleh apapun, karena jejak yang mereka bawa adalah ilmu, hikmah dan tauladan. Ilmu yang mereka dapat karena dari pemikiran, hikmah yang mereka dapatkan dari semua kesalahan masa lalu dan tauladan yang mereka peroleh dari moral para pendidik mereka. Jadi, keteladan itu adalah turun temurun.
Disini, kita tak dapat membedakan antara para pahlawan dan para pembelajar. Yang membedakan hanyalah jalan yang mereka tempuh berbeda, para pahlawan adalah orang yang menularkan jejak kepatriotikan mereka dengan berkorban dengan tubuh dan darah mereka, Sedangkan para pembelajar, mereka menularkan jejak itu dengan akal dan ilmu yang mereka miliki.

Wallahu ‘alam bisshowab

Baca Selengkapnya...

Lagi-lagi Absensi…

Dalam setiap kegatan yang kita lakukan, tidak luput dari yang namanya absensi atau monitoring. Setiap hari seorang PNS harus masuk kerja untuk absen (baca: ngisi absen) agar gajinya tidak dipotong. Mahasiswa ataupun murid harus mengisi absen agar tidak di-DO(Drop out). Begitu para pekerja, agar tidak dipecat. Hampir semua orang begitu mendengar kata-kata absen langsung merinding. Mereka takut, maka dari itu mereka absen. Absen sudah menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi kita. Entah sadar ataukah tidak.
Fenomena ini sudah menjamur begitu dalam di setiap individu manusia Indonesia. Begitu mendengar nama absensi, ada saja reaksi mereka, jika orang yang taat, masak dari kemarin absensii…. Terus,, bosen gw. Namun ada juga yang acuh seolah tak ada apa-apa, ah absensi biarin aja, males gw nanggepinnya, paling-paling entar hukumannya juga sama kayak kemaren.

Mungkin orang-orang yang benci dengan yang namanya absensi adalah karena mereka selalu dimonitori oleh orang lain. Coba, kalau di rumah juga di absen. Ketika si A tidak ada di rumah, ibu atau ayahnya mungkin akan bertanya ke saudaranya kemana si A ? Ini adalah salah satu absensi yang ada di rumah. Merasa dimonitori, setiap orang merasa risih, karena seolah orang itu yang mengurus dirinya. Setiap orang itu sanggup mengurus dirinya sendiri, jadi tidak usah dimonitori, begitu pikir orang-orang yang sudah merasa dewasa.
Tapi, apakah kita wahai manusia tidak sadar bahwa ada yang lebih dari itu, Dia selalu memonitori seluruh aksi-aksi kita baik yang privasi ataupun yang umum. Ketika manusia yang mengabsen, mungkin yang dimonitori hanyalah hal-hal yang umum. Betul ? tapi bagaimana dengan yang diatas ? kenapa kita tidak merasa risih dengannya ? Monitor kepunyaan Allah ini selalu mengawasi orang-orang yang baik dan yang jahat. Tidak ada yang luput dari pantauannya. Bahkan setiap orang tidak menyadari kalau mereka diabsensi oleh Allah.
Akhirnya, kata-kata ‘lagi-lagi absensi…’ bukanlah suatu hal yang menjadi momok besar, karena Allah sudah memonitori diri kita dan setiap manusia. Allah sudah membuat absensi sendiri-sendiri. Kapan ia meninggal, kapan ia kaya, masuk apa nantinya ketika ia meninggal, syurga ataukah neraka ? Itu sudah tertulis dalam absensinya Lauh mahfudz. Ketika manusia bisa luput hukuman absensi, bagaimana kita bisa luput dari hukuman absensi yang dibuat Allah ?
Wallahu ‘alam bisshowab.

Baca Selengkapnya...

Akhlak, Pondasi Utama Dalam sebuah Kebangkitan Bangsa

Kita sering mengeluh tentang sebuah bangsa yang tidak pernah maju-maju. Atau mengeluh sebenarnya ada apa dengan bangsa ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, sebuah bangsa yang sangat dikagumi karena banyak mineral alam yang terkandung, tapi mengapa, bangsa ini tidak pernah mengenyam masa kejayaan. Yang ada hanya penjajahan, pemberontakan dan teroris. Tiada ada dalam kamus Indonesia ini semua hidup tentram dan damai.
Kita para penghuni bangsa ini sangat ingin berharap munculnya sebuah peradaban bangsa dengan masyarakat madani. Oleh karenanya nanti muncul sebuah Negara yang madani juga. Dalam mencapai itu semua, kita membutuhkan 4 pilar yang semua itu ada bangunan utamanya yaitu : AKHLAK atau MORAL. Akhlak atau moral di bangsa ini sedang mengalami degradasi yang sangat drastis.

Dan ini kembali ke zaman sebelum nabi Muhammad dilahirkan. Ketika Muhammad diutus menjadi seorang nabi dan rasul, beliau bersabda : sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak. Ini bisa kita lihat sekarang, moral dalam bangsa sangat dibutuhkan dan nantinya ini akan tercermin dalam setiap individu masing-masing.
Jika setiap moral orang runtuh, maka tunggulah kehancuran bangsa. Dan allah akan mengganti sebuah generasi yang semua generasi itu taat pada allah. Untuk sementara ini, mencerdaskan bangsa ini tidaklah butuh dengan pendidikan saja. Tetapi bagaimana setiap orang ini bisa mencerdaskan moralnya. Orang pintar tapi punya moral bejat sama saja. Karena buat apa dia pintar tapi, otaknya tidak digunakan untuk berfikir.
Ketika moral dalam setiap individu ini baik, maka implementasinya adalah keluarga. Keluarga ini adalah cikal bakal dari sebuah masyrakat yang madani juga. Miniatur kecilnya sebuah masyarakat itu diatur di sebuah keluarga. Dalam hal ini, penyaringan moral individu masih belumlah sempurna, karena moral individu ,masih bisa dipengaruhi oleh kedua orang tuanya ataupun anggota keluarga yang lain. Sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, orang tuanyalah yang menjadikannya majusi, yahudi dan agama lain. Jadi, moral ini masih belum matang. Tapi, disini juga yang bisa membentuk benteng moral dari kejelekan-kejelekan moral masyarakat. Intinya, di keluarga ini individu mendapatkan satu imun yang kuat untuk bisa menolak kekuatan-kekuatan jelek dari masyarakat.
Setelah, di keluarga individu telah mendapatkan imun moral kebaikan maka ada dua kemungkinan setelah itu. Pertama, karena masyarakat itu sejatinya sangat sulit untuk dipahamkan masalah akhlak ini maka, karakter ini yang sanggup mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang lebih sholih dan berperadaban agung. Kedua, ini yang diam saja saat kemaksiatan dalam masyarakat meluas. Tetapi, akhirnya ia menyingkir bukan karena tidak sanggup tapi, untuk menyelamatkan akidahnya.
Masyarakat madani inilah yang akan seperti masyarakat yang diidam-idamkan manusia. Ketika masyarakat ini semua memiliki moral yang tangguh, dan disini individu mendapat imun yang kedua yang lebih kebal. Dan bisa dibilang, imun ini adalah imun terakhir dari semua itu. Karena, dari internal masyarakat telah terpahamkan dan punya sebuah jati diri dan akhlak yang karimah. Tinggal, bagaimana Negara memfasilitasi orang-orang yang seperti ini. Karena masyarakat ini akan berafiliasi kedalam Negara tersebut. Kalau Negara tidak memfasilitasi individu-individu ini, isme-isme dalam dunia luar bisa menghancurkan Negara ini dan peradaban masyarakat bisa hancur karena hal ini. Dampak akhlak sangat luar biasa sekali. Oleh karenanya mengapa nabi Muhammad diutus hanya sebagai penyempurna saja. Dari kebiadaban moral akan muncul kesombongan dari situ akan muncul paham-paham yang sangat mengancam moral individu lainnya.
Bangsa ini sebenarnya kaya, tapi karena tidak punya jati diri dan akhlak yang baik, maka dengan mudah semua penjajah menjajah semau mereka.
Wallahu a’lam bishowab

Baca Selengkapnya...

Menyelami Hakikat Kehidupan

Pernahkah kita tanya pada seorang nenek yang tua renta, sekitar 70 tahunan. Tanyalah padanya, bagaimana kehidupan yang dijalaninya ? Mungkin ia akan berkomentar : Hidup ini begitu singkat diluar dugaan dia ketika masih muda, ketika dia masih memegang prinsip muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk syurga. Tapi, begitu dia sudah beranjak tua, apakah dia berpikir sebagai prinsipnya ? tua kaya raya ? Takkan pernah ada yang berpikir seperti itu, kecuali orang-orang yang menganggap hidup ini masih panjang atau bahkan tidak percaya dengan kematian.
Kehidupan yang dia jikalau kembali untuk diceritakan hanya cukup enam atau tujuh jam saja. Selama tujuh puluh tahun kehidupan hanya diringkas dalam seberapa jam saja yang tidak cukup dari separuh waktunya. Sekarang ini marilah kita renungkan kembali sebenarnya hakikat kita dilahirkan oleh allah itu untuk apa ? Kita ini adalah makhluk yang lura biasa sekali sehingga malaikat pun hormat pada kedudukan kita.

Allah menciptakan kita adalah untuk menjadi wakilnya di bumi ini. Bukan berarti manusia harus mengeksploitasi seluruh kepunyaan Dia. Allah hanya menitipkan sebentar saja, karena suatu saat Dia pasti akan kembali memintanya.
Allah menciptakan manusia dan kemudian menyuruh untuk jadi wakilNya di bumi ini adalah hakikat manusia secara kepemimpinan. Dan hakikat manusia secara aplikasinya adalah menyembah Allah dengan segala kepasrahan tanpa ada paksaan untuk itu. Dan dengan itu nantinya akan mucul yang namanya Rukun iman. Tapi, manusia sering lupa akan kelemahan mereka. Kelemahan mereka tertutup dengan kesombongan yang dimiliki oleh iblis. Allah menjadikan harta, anak dan istri yang cantik adalah untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada manusia. Akan tetapi, lihatlah sebagian orang, mereka lemah terhadap materi yang diberikan oleh allah, mereka menjadi sombong karenanya.
Materi-materi yang Allah berikan sudah pasti akan hancur binasa. Hanya orang-orang yang sabar dan tabah jika materi-materi mereka hilang. Akan tetapi, orang-orang yang tak paham dengan hal itu, mereka akan ikut binasa olehnya. Hakikat orang-orang yang mencari materi saja akan membuat mereka senang secara lahir. Entah disadari atau tidak. Mereka tidak tahu bagaimana cara membahagiakan diri. Oleh karena itu mereka selalu memperkaya diri mereka dengan materi yang dimilkinya. Kekayaan itulah yang terkadang membuat hakikat kehidupan menjadi sempit, karena hanya terbatas pada lahir saja. Bandingkan jikalau ia memahami bahwa didunia luar sana yang dijanjikan oleh Allah jauh lebih baik dari semuanya. Manusia sekarang memang sebih suka instan. Mereka malas untuk menunggu, apalagi hal-hal yang ghoib yang oleh orang-orang barat digaungkan tidak ada kehidupan setelah mati. Mereka menutupi hal ini karena mereka takut mati. Mereka mencoba seluruh perhiasan-perhiasan atau apalah untuk menjadikannya kembali muda dan umur panjang.
Materi yang kita miliki ini semua ini adalah hanya sebuah ilusi yang menipu. Dipahami atau tidak. Kenyataan dunia yang kita tempati ini hanyalah sebuah citra yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji oleh berbagai persepsi-persepsi yang tidak mengandung realita. Dan persepsi ini sengaja dihadirkan untuk menggoda dan memikat. Waktu yang digunakan setiap manusia untuk mengejar kehidupan dunia ini tidaklah berguna, hanya terhenti ketika pekerjaan itu selesai. Menyingkirkan agama demi nafsu imajiner adalah kebodohan besar yang menyebabkan hilangnya kesempatan untuk kehidupan penuh berkah di surga.
Sehingga hakikat kehidupan manusia disini terbagi menjadi dua bagian. Ada yang masih tertipu dengan materi imajiner yang sebenarnya tidak terlihat, akan tetapi itu dibuat untuk memikat hati setiap manusia. Dan ada yang memahami bahwa hakikat kehidupan ini hanyalah sebagai uji coba ketahanan seseorang terhadap materi. Apa yang dia pilih nantinya ? materi dunia atau syurga ?
Wallahu ‘alam bishowab

Baca Selengkapnya...